Seputar Revolusi Kopernikan dari Immanuel Kant

Suatu proposisi pada dasarnya merupakan cara pikiran kita memberi tanggapan terhadap sesuatu yang disebut subjek dengan sesuatu yang disebut predikat. Dari sini muncul pertalian (relation) sebagai suatu bentuk tanggapan pikiran. Tetapi di dalam memahami relasi ini, seseorang harus mencari sumber untuk menentukan bagian mana yang merupakan luaran dan isi dari subjek yang sedang dipikirkan.

Di buku kritik pertama, Kritik der reinen Vernunft, Immanuel Kant membagi proposisi menjadi dua, yaitu proposisi sintetik dan proposisi analitik. Dalam semua tanggapan (judgements), tutur Kant, proposisi—baik yang bersifat afirmatif maupun negatif—merupakan relasi antara subjek dan predikat. Jika muncul pernyataan : “setiap A adalah B”, dimana A = subjek, dan B = predikat, predikat B mungkin sudah terkandung dalam konsep A. Artinya, predikat mungkin sudah terkandung dalam pengertian subjek. Ini disebut sebagai tanggapan analitik (analytical judgements), karena tanggapan ini hanya menganalisa isi pengertian subjek yang telah ada; atau, dalam cara lain, predikat B mungkin secara keseluruhan berada di luar konsep A, ini berarti B bukan merupakan identitas yang terkandung di dalam konsep subjek A, sekalipun predikat tersebut memiliki koneksi yang dapat menambahkan sesuatu yang baru kepada pengertian subjek. Yang kedua ini disebut sebagai tanggapan sintetik (synthetical judgements).

Tentang kedua jenis proposisi di atas Kant menulis dalam kitab kritik pertamanya,

In the first instance, I term the judgement analytical, in the second, synthetical. Analytical judgements are therefore those in which the connection of the predicate with the subject is cogitated through identity; those in which this connection is cogitated without identity, are called synthetical judgements. The former may be called explicative, the latter augmentative judgements; because the former add in the predicate nothing to the conception of the subject, but only analyse it into its constituent conceptions, which were thought already in the subject, although in a confused manner; the latter add to our conceptions of the subject a predicate which was not contained in it, and which no analysis could ever have discovered therein.

(Terjemahan versi English oleh : J. M. D. Meiklejohn)

Yang bersifat analitik ialah proposisi seperti : setiap benda ragawi menempati ruang, atau setiap benda ragawi menempel dalam aliran waktu, karena keadaan menempati ruang dan waktu sudah merupakan sifat yang tentu melekat pada benda ragawi. Koneksi yang terjadi antara subjek dan predikat dipikirkan sebagai identitas. Tanggapan analitik sekadar menganalisa mengenai isi pengertian subjek.

Yang bersifat sintetik ialah tanggapan: setiap benda ragawi memiliki massa, dimana predikat adalah sesuatu yang berbeda secara total dengan konsepsi subjek. Karena predikat tidak berlaku bagi benda ragawi sebagai identitas benda ragawi itu. Dengan demikian tanggapan sintetik dapat memberi pengetahuan baru.

Di samping itu relasi tanggapan tersebut dapat bersifat a posteriori dan a priori. Tanggapan a posteriori ialah tanggapan yang bersumber pada pengalaman; tanggapan a priori ialah tanggapan yang semata-mata bersumber pada akal.

Kant berikutnya menulis,

Judgements of experience, as such, are always synthetical. For it would be absurd to think of grounding an analytical judgement on experience, because in forming such a judgement I need not go out of the sphere of my conceptions, and therefore recourse to the testimony of experience is quite unnecessary. That “bodies are extended” is not an empirical judgement, but a proposition which stands firm a priori … But now I extend my knowledge, and looking back on experience from which I had derived this conception of body, I find weight at all times connected with the above characteristics, and therefore I synthetically add to my conceptions this as a predicate, and say, “All bodies are heavy.” Thus it is experience upon which rests the possibility of the synthesis of the predicate of weight with the conception of body, because both conceptions, although the one is not contained in the other, still belong to one another (only contingently, however), as parts of a whole, namely, of experience, which is itself a synthesis of intuitions.

Ada kemungkinan terjadi salah paham. Orang mengira bahwa tanggapan a posteriori niscaya juga tanggapan sintetik, karena hanya pengalaman lah yang dapat menimbulkan sintesa, artinya yang dapat menimbulkan pengetahuan baru. Demikian pula, bahwa sebaliknya segenap tanggapan a priori tentu juga merupakan tanggapan analitik, karena akal sekadar mengadakan analisa terhadap identitas yang sudah tersedia. Tetapi, kesimpulan demikian tidak betul. Ada juga tanggapan-tanggapan sintetik a priori (synthetical judgements a priori). Berdasar tanggapan-tanggapan seperti inilah orang menyusun matematika, ilmu pengetahuan alam dan begitu pula metafisika yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kant menulis,

But to synthetical judgements a priori, such aid is entirely wanting. If I go out of and beyond the conception A, in order to recognize another B as connected with it, what foundation have I to rest on, whereby to render the synthesis possible? I have here no longer the advantage of looking out in the sphere of experience for what I want. Let us take, for example, the proposition, “Everything that happens has a cause.” In the conception of “something that happens,” I indeed think an existence which a certain time antecedes, and from this I can derive analytical judgements. But the conception of a cause lies quite out of the above conception, and indicates something entirely different from “that which happens,” and is consequently not contained in that conception. How then am I able to assert concerning the general conception– “that which happens”– something entirely different from that conception, and to recognize the conception of cause although not contained in it, yet as belonging to it, and even necessarily? what is here the unknown = X, upon which the understanding rests when it believes it has found, out of the conception A a foreign predicate B, which it nevertheless considers to be connected with it?

Menurut Kant, ilmu pengetahuan menyiratkan tanggapan-tanggapan yang memberi pengetahuan baru, artinya menyiratkan tanggapan-tanggapan sintetik. Tetapi ilmu pengetahuan juga menyiratkan tanggapan-tanggapan yang bersifat niscaya serta umum, artinya menyiratkan tanggapan-tanggapan a priori. Tanggapan-tanggapan a posteriori sesungguhnya tergantung pada pengalaman yang senantiasa berubah-ubah (contingent), dan karena itu tidak mungkin bersifat niscaya (necessary) maupun umum. Itu sebabnya tanggapan-tanggapan sintetik a priori merupakan syarat bagi adanya ilmu pengetahuan. Ada sejumlah kebenaran, yang dalam hal ini antara subjek dan predikat, meskipun predikatnya tidak terkandung di dalam subjek. Justru inilah yang merupakan kebenaran-kebenaran yang mendasari ilmu pengetahuan. Tetapi bagaimana mungkin ada hal-hal semacam itu? Umpamanya tanggapan: segala sesuatu yang bersifat umum dan niscaya, namun sekaligus bersifat sintetik, karena pengertian penyebab (cause) tidak terkandung dalam pengertian “something that happens.” Apakah yang merelasikan secara a priori kedua macam pengertian ini, yang di dalamnya yang satu tidak mengandung yang lain? Di bagian pendahuluan, Kant menulis,

It cannot be experience, because the principle adduced annexes the two representations, cause and effect, to the representation existence, not only with universality, which experience cannot give, but also with the expression of necessity, therefore completely a priori and from pure conceptions. Upon such synthetical, that is augmentative propositions, depends the whole aim of our speculative knowledge a priori; for although analytical judgements are indeed highly important and necessary, they are so, only to arrive at that clearness of conceptions which is requisite for a sure and extended synthesis, and this alone is a real acquisition.

Boleh dikatakan bahwa kitab Kritik der reinen Vernunft ditulis untuk menjawab pertanyaan ini. Dalam pendahuluannya Kant mengadakan pemilahan antara pengetahuan murni a priori dan pengetahuan berdasar pengalaman a posteriori. Pengetahuan murni a priori berasal semata-mata dari akal sendiri. Ia merupakan sesuatu yang khas dari akal, dan karenanya bahkan terjadi dalam pemikiran sehari-hari. Tetapi filsafat memerlukan suatu ilmu pengetahuan yang menetapkan kemungkinan, asas-asas serta teori berlakunya pengetahuan a priori. Karena itu perlu diperhatikan pemilahan antara tanggapan-tanggapan sintetik dengan tanggapan-tanggapan analitik, dan perlu diingat bahwa dalam segenap ilmu pengetahuan teoritik terkandung tanggapan sintetik a priori sebagai asas-asanya.

Jika telah ditunjukkan bahwa tanggapan ini melandasi matematik serta ilmu pengetahuan alam, maka barulah kita dapat menyelidiki lebih lanjut maknanya bagi metafisika. Sampai saat itu metafisika belum mampu menemukan suatu cara yang tetap untuk dinamakan ilmu pengetahuan (science), setidak-tidaknya di masa Kant, dan oleh sebab itu kehilangan pamornya. Tetapi metafisika tetap saja menyembul berdasar bawaan kodrati manusia, dan karenanya para filsuf harus mencari asas-asanya, yang atas dasar itu metafisika dapat berkembang sebagai ilmu pengetahuan yang sebenarnya.

This last question, which arises out of the above universal problem, would properly run thus: “How is metaphysics possible as a science?” Thus, the critique of reason leads at last, naturally and necessarily, to science; and, on the other hand, the dogmatical use of reason without criticism leads to groundless assertions, against which others equally specious can always be set, thus ending unavoidably in scepticism.

Untuk itu mungkin kita perlu meninggalkan segenap metafisika pada masa-masa lampau, dan berdasar akal-akal kekal metafisika untuk menumbuhkan sebuah metafisika baru. Dalam penyelidikan ini yang perlu diperhatikan bahwa pengetahuan manusia itu bercabang dua, yang mungkin berasal dari akar yang sama, namun yang tidak kita ketahui, yaitu bersifat inderawi (lewat sense) dan akal (lewat thought). Kemampuan inderawi menampilkan objek-objek kepada kita, tetapi kemampuan akal menyebabkan kita memikirkan objek-objek tersebut.

Kant menegaskan bahwa kitabnya Kritik tidak ditulis untuk memberikan sebuah sistem filsafat transendental, melainkan sekadar kritik yang menunjukkan adanya kemungkinan bagi sistem semacam itu. Kant menamakan suatu pengetahuan bersifat transendental, manakala pengetahuan itu tidak menyangkut objek-objeknya sendiri, melainkan menyangkut cara kita mengetahui objek-objek tersebut, sejauh cara ini setidak-tidaknya dimungkinkan secara a priori.

From all that has been said, there results the idea of a particular science, which may be called the Critique of Pure Reason. For reason is the faculty which furnishes us with the principles of knowledge a priori. Hence, pure reason is the faculty which contains the principles of cognizing anything absolutely a priori … Such a science must not be called a doctrine, but only a critique of pure reason; and its use, in regard to speculation, would be only negative, not to enlarge the bounds of, but to purify, our reason, and to shield it against error– which alone is no little gain … I apply the term transcendental to all knowledge which is not so much occupied with objects as with the mode of our cognition of these objects, so far as this mode of cognition is possible a priori. A system of such conceptions would be called transcendental philosophy …

Kant lebih jauh menulis,

Transcendental philosophy is the idea of a science, for which the Critique of Pure Reason must sketch the whole plan architectonically, that is, from principles, with a full guarantee for the validity and stability of all the parts which enter into the building. It is the system of all the principles of pure reason…

Only so much seems necessary, by way of introduction of premonition, that there are two sources of human knowledge (which probably spring from a common, but to us unknown root), namely, sense and understanding. By the former, objects are given to us; by the latter, thought. So far as the faculty of sense may contain representations a priori, which form the conditions under which objects are given, in so far it belongs to transcendental philosophy. The transcendental doctrine of sense must form the first part of our science of elements, because the conditions under which alone the objects of human knowledge are given must precede those under which they are thought.

Berdasar gagasan-gagasan pengantar ini menjadi jelaslah susunan kitab Kritik itu: bagian pertama transcendentale Elementarlehre (transcendental doctrine of elements) dantranscendentale Methodenlehre (transcendental doctrine of method). Transcendentale Elementarlehre membawa penyelidikan kritik kepada unsur-unsur a priori pengetahuan kita. Sesuai dengan pemilahan pengetahuan inderawi (sense) serta pengetahuan akal (thought), maka elementarlehre dibagi dalam transcendentale Aesthetik dan transcendentale Logik.

Transcendentale Aesthetic, sebuah judul yang di dalamnya estetika, yang menurut artinya semula bermakna ajaran pengamatan, mempermasalahkan syarat-syarat objek-objek (Gegenstande) di hadapan kita. Nyatalah bagi Kant bahwa keindrawian menyiratkan dua buah bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan bentuk-bentuk a prioripengetahuan kita. Benda-benda itu sendiri tidaklah bersifat meruang dan mewaktu, namun alat-alat inderawi kita seakan-akan menangkapnya dalam bentuk ruang serta waktu.

Sampai di sini sudah tampak apa yang oleh Kant sendiri disebut Copernican Revolution dalam pemikirannya : pengetahuan kita tidak mengarah kepada benda-benda, melainkan benda-benda itu yang mengarah kepada pengetahuan kita. Di bagian pendahuluan edisi kedua buku Critique of Pure Reason (1787), setelah mengalami revisi penting dari terbitan pertamanya (1781), Kant menulis,

It has hitherto been assumed that our cognition must conform to the objects; but all attempts to ascertain anything about these objects a priori, by means of conceptions, and thus to extend the range of our knowledge, have been rendered abortive by this assumption. Let us then make the experiment whether we may not be more successful in metaphysics, if we assume that the objects must conform to our cognition. This appears, at all events, to accord better with the possibility of our gaining the end we have in view, that is to say, of arriving at the cognition of objects a priori, of determining something with respect to these objects, before they are given to us. We here propose to do just what Copernicus did in attempting to explain the celestial movements. When he found that he could make no progress by assuming that all the heavenly bodies revolved round the spectator, he reversed the process, and tried the experiment of assuming that the spectator revolved, while the stars remained at rest. We may make the same experiment with regard to the intuition of objects.

Dengan demikian mengetahui tidak berarti mencerminkan secara pasif benda-benda, melainkan secara aktif membentuk gambaran pikir. Isi (material) pengetahuan kita memang berasal dari benda-benda, namun bentuknya timbul dari perbuatan mengetahui itu sendiri. Tetapi sekaligus hal ini membawa konsekuensi: kita tidak mengetahui bendanya sendiri (das Ding as Sich), melainkan yang kita ketahui hanyalah gejalanya (Erscheinung). Kant secara tegas mengingatkan agar tidak mendistorsikan gejala dengan yang semu. Yang semu tidak bersangkut-paut dengan kenyataan; sebaliknya gejala adalah suatu cara kita mengetahui kenyataan benda-benda.

Sumber :

  • Delfgaauw, Bernard. 1988. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Alih Bahasa Soejono Soemargono, PT Tiara Wacana : Yogyakarta, 1992.
  • Kant, Immanuel. 1787. Kritik der reinen Vernunft, diterjemahkan ke dalam versi bahasa Inggris oleh J. M. D. Meiklejohn, diterbitkan oleh : eBooks@Adelaide, 2009, http://ebooks.adelaide.edu.au/k/kant/immanuel/k16p/

One thought on “Seputar Revolusi Kopernikan dari Immanuel Kant

Leave a comment