Keteladanan Akal

Sebagian tokoh masyarakat kita menilai bahwa keteladanan itu penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan berusaha menampilkan dirinya atau mencari model keteladanan dari luar dirinya agar bisa menjadi panutan bagi yang lain di masyarakat.

Saya tidak terlalu setuju dengan fenomena ini. Saya beranggapan bahwa orang dewasa yang tidak berkekurangan mereka pasti memiliki akal. Dengan akal manusia bisa menilai mana yang benar dan mana yang salah. Dengan akal pula manusia bisa menilai mana perbuatan baik dan mana perbuatan buruk.

Jadi keteladanan yang utama bagi seorang manusia dewasa dalam pandangan saya adalah akalnya. Karena percuma ada keteladanan di masyarakat juga kalau masyarakat di sekitarnya tidak menggunakan akal.

Ini lain ceritanya kalau masyarakat di sekitar kita adalah anak-anak yang belum dewasa, yang akalnya belum sempurna, alias masyarakat yang belum akil baligh.

Lalu bagaimana caranya agar manusia bisa menemukan keteladanan akal ini? Salah satu caranya lewat berlatih dengan matematika, ilmu logika, pemrograman komputer dan sebagainya. Dengan sering berlatih menggunakan akalnya, manusia akan mengenal dan memahami bentuk-bentuk akal ini sehingga bisa dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari.

Orang Indonesia pada umumnya sibuk mencari model keteladanan dari luar tanpa melatih akalnya. Misalnya dari orang Jelang, dari orang Korea dan semacamnya. Karena masyarakat Indonesia telah merasa silau oleh orang Jepang yang telah memproduksi kendaraan bermotor, dan orang Korea yang telah memproduksi handphone dan semacamnya, yang telah dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Tapi karena orang Indonesia ini banyak yang tidak pakai akal akhirnya apa saja dijadikan keteladanan. Padahal orang Jepang punya akal, orang Indonesia juga punya akal. Bedanya kita tidak pakai akal dan sibuk mencari keteladanan dari luar. Tidak semua yang datang dari orang Jepang itu harus diteladani, karena kalau datangnya menularkan virus corona, kan repot juga.

“Investasi dari Arab”

Saya cukup lama juga nyantri ilmu tata bahasa Arab di pesantren. Walau tidak sampai menguasainya dalam percakapan sehari-hari, Kitab Alfiyah lumayan sampai lah.

Satu hal yang unik di dunia pesantren, ada tradisi yang tidak tertulis dan tidak baku bahwa jika ada sesuatu yang dikhwatirkan disampaikan secara tidak adil, maka dipilih metode humor. Tapi hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki kecerdasan ini. Almarhum Gus Dur menurut saya adalah salah satu tokoh di dunia pesantren yang dianugerahi kecerdasan semacam ini.

Posting saya ini terlalu serius untuk sebuah humor. Tapi karena saya benci membahas isu ini, saya khawatir saya tidak adil jika menyampaikan ini terlalu serius.

Tapi biar pun saya benci terhadap isu ini ada masa depan bangsa di sini yang jauh lebih penting terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Tantangan yang akan kita hadapi di masa depan kelihatannya tidak akan lebih mudah dari saat ini.

Kalau di posting sebelumnya dalam pandangan saya poinnya itu lebih ke masalah bagaimana kita menata negara saja saya kira. Sehingga terjadi ketertiban dan kepantasan dalam menyampaikan sesuatu di muka publik sesuai dengan kewenangan-kewenangan dari para pejabat publik. Jika perlu disampaikan sesuatu yang bukan domainnya, maka sepantasnya di situ ada berdiri terlihat batang hidungnya di samping yang bersangkutan seseorang yang memiliki kewenangan dalam hal tersebut.

Dan saya melihat tidak ada masalah matematika dalam pernyataan yang disampaikan oleh Pak Menko Mahfud tersebut. Jadi kata-kata hitungan matematis di situ tidak perlu dan tidak pantas dimunculkan dalam pernyataan tersebut.

Selanjutnya tentang isu investasi dan kerja sama dengan pemerintah Arab. Saya dengar pemerintah kita saat ini tengah menjajaki kerja sama dan upaya lain-lain untuk menarik investasi dari Arab. Saya gembira mendengar berita ini. Juga saya percaya diri dengan kegembiraan ini karena pasti ada keterlibatan Ibu Sri Mulyani di sini. Saya lebih percaya beliau ketimbang Prabowo. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari orang kaya-rakus yang sudah jadi pejabat Menhan saat ini.

Selain karena uang masyarakat indonesia banyak yang mengalir ke Arab, lewat haji dan umroh terutama, maka seharusnya ada uang juga yang mengalir dari Arab ke Indonesia. Jika aliran balik uang itu tidak terjadi maka berarti kan orang Indonesia ini bodoh secara ekonomi. Setidaknya mungkin begitulah pandangan orang-orang ekonomi di luar Indonesia terhadap hal ini.

Perlu diingat juga bahwa masyarakat Arab lah yang seharusnya paling bertanggung jawab karena telah memproduksi kata-kata yang paling ditakuti dan alergi di Indonesia, seperti kata “kafir” atau “kufur”.

Kata itu berasal dari orang-orang Arab era jahiliyah, leluhur Arab saat ini. Lalu diadopsi dalam agama, dan lalu masuk ke indonesia. Kira kira begitulah. Pakar agama lebih mengetahui asal-usul kata ini. Lebih kurangnya saya mohon maaf.

Jadi kalau masih ada orang Indonesia yang belum bisa terima dengan kata-kata itu, saatnyalah kali ini untuk “balas dendam” kepada orang-orang Arab.

Karena orang Indonesia pada umumnya alergi mendengar kata-kata itu diucapkan dari satu ke yang lainnya. Apalagi terhadap yang berbeda keyakinan. Seolah mereka lah pemilik kebeneran itu, dan yang lain salah. Ini jelas telah menimbulkan banyak konflik, perpecahan, dan permusuhan, hingga nyawa melayang. Jelasnya kata-kata demikian telah berdampak buruk bagi kehidupan manusia yang beradab.

Saking alerginya agama pun saat ini dituding jadi musuh pancasila. Sesuatu yang baru terjadi di era ini saya dengar. Dan sesuatu yang tidak perlu terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa yang sudah sejauh ini.

Orang Arab yang menyebut kata kafir atau turunan katanya mungkin tidak akan jadi masalah. Karena kata-kata itu kemudian digandengkan dengan kata-kata Arab lainnya. Misalnya ada seorang Arab berkata “fa anta al-kufru ‘ala al-akhbaari al-kaadzibati al-mutadaawalah“, semacam itu. Tidak ada kata yang terdengar menohok di situ. Karena seperti rangkaian kalimat Arab saja yang tidak dimengerti oleh sebagian orang Indonesia.

Menurut saya yang sudah ada biarlah terjadi menjadi masa lalu, kita dapat menerima itu sebagai kenyataan meskipun cukup pahit. Tidak semua kenyataan dalam hidup ini harus menyenangkan. Ada juga fakta-fakta hidup yang harus kita terima walau terasa sulit dan sakit.

Yang paling penting bagaimana kita menghadapi tantangan bangsa di masa depan yang semakin besar dan kompleks ini. Tidak perlu ada elemen-eleman bangsa yang saling menyalahkan di sini.

Yang patut disalahkan di sini adalah masyarakat Arab jahiliyah yang pada awalnya kenapa memproduksi kata kafir tersebut. Saya juga tidak tahu kenapa.

Saya sendiri enggak akan marah, enggak akan terganggu atau tersinggung jika ada orang Nasrani atau Yahudi yang menyebut saya kafir, atau menyebut saya sebagai pendusta agama Yahudi, atau pendusta Yesus. Saya akan menanggapinya biasa-biasa aja. Tidak ada yang patut disalahkan atau menyalahkan di republik ini. Karena kata-kata itu adalah hasil “investasi dari arab”.

Ngaku Mahasiswa Miskin, Tapi Pakai Software Komersil

Kadang-kadang ada beberapa perilaku lucu mahasiswa yang ingin konsultasi ke saya. Kebanyakan mahasiswa S1 yang membuat saya kadang-kadang ingin ketawa ngakak, yaitu perilaku suka “nawar” biaya konsultasi dan beralasan bahwa mereka itu mahasiswa S1 miskin.

“Sampeyan ngaku mahasiswa miskin? Gak masuk akal,” kata saya. “Lhaa kenapa pak?” Saya telah melihat di request pesanan mereka, bahwa softwarenya harus pakai SPSS. Ada lagi software komersil lainnya yang sering diminta oleh para mahasiswa S1, yaitu pakai Matlab, Microsoft Excel, Visual Basic (dan saudara-saudaranya), Lisrel, dan software komersil lainnya. Belum lagi dokumen yang mereka pakai untuk menulis laporan adalah Microsoft Word.

“Ngaku miskin tapi kok pakai software komersil? Belum lagi sampeyan harus bayar ke saya. Sampeyan jadi tambah miskin donk.” Kata saya. “Hanya orang-orang kaya yang merelakan uangnya untuk sekedar beli software komersil, saat ini. Itu berarti ada dua kemungkinan, sampeyan itu cuma ngaku-ngaku miskin atau sampeyan pakai software bajakan.”

Ada lagi perilaku lucu yang mau konsul ke saya di WhatsApp, yang sepertinya sang mahasiswa enggan untuk membayar, dan ngaku kalau di kotanya cuma ada Mandiri :-)).

Ngaku Mahasiswa Miskin, Tapi Pakai Software Komersil

Hari gini, di kota macam apa sampeyan tinggal mas? :-))

Lalu, yang membuat saya terkejut, mereka yang mengatakan seperti ini, “Dosen suruh saya pakai software itu, pak.” Lagi-lagi alasannya adalah Dosen.

Saya kurang paham kondisi seperti apa sebenarnya yang sedang terjadi di Republik ini. Dosen kayak gimana yang nyuruh mahasiswanya pakai software non-akademik? Seandainya mereka itu ada di lingkungan pendidikan elit pun, cukup menggelitik jika menyuruh mahasiswanya pakai software non-akademik. Misi akademik apa yang sebenarnya ia bawa dengan menggunakan software non-akademik (a.k.a software komersil).

Dan sekiranya mahasiswa yang ngaku-ngaku miskin itu memang benar mahasisiwa miskin, kemungkinan besar dia akan menggunakan software ilegal (bajakan) karena tidak cukup uang untuk membelinya, dan secara tidak langsung si dosen itu telah menciptakan kondisi bagi mahasiswanya untuk menggunakan software ilegal.

Saya khawatir juga membayangkan kondisi ini. Bukan tentang software ilegal, bukan pula tentang software komersil. Karena konsep-konsep itu tak ubahnya barang-barang yang “baru”, yang bisa kapan saja berubah. Juga, dalam ukuran uang saat ini tampak juga sepele, apalagi dalam ukuran dan perspektif sejarah. Tapi ada hal yang lebih berharga dan lebih “mahal” dari itu, yaitu tentang nilai-nilai idealisme dan prinsip yang mulai luntur di kalangan mahasiswa saat ini.

Ngeri juga membayangkan kondisi seperti ini, dimana masyarakatanya sudah kehilangan idealisme. Mungkin mereka tampak “bahagia” di masyarakat dengan menunjukkan sikap alami mengikuti arus karena tuntutan kebutuhan duniawi, dan ini bisa kita maklumi. Tapi ketika muncul di ruang pribadi, bahkan di ruang pendidikan dengan dosen-dosen yang sudah tidak punya kendali dalam hidupnya, dengan suasana batin terdesak seperti di atas suara jiwa mereka tidak bisa dibohongi.

Ibarat orang-orang yang sedang terseret arus banjir dan tiba di tepi jurang, apa saja akan mereka pegang untuk menyelamatkan kehidupan dunianya. Karena mereka memandang akhiratnya sudah gelap, hanya tinggal dunianya saja yang dia sembah untuk bisa selamatkan harapkannya. Jiwa dan iman nya pun akan mereka relakan untuk setan, bahkan mungkin Tuhan pun sedang mereka maki-maki. Na’uudzubillaah, tsumma na’uudzubillahi min dzaalik…

Lalu saya katakan juga ke sebagian mereka, bahwa “Pendidikan yang menanamkan nilai-nilai idealisme, prinsip-prinsip kebenaran dan kejujuran yang membuat mahal harganya, bahkan kau tak akan sanggup bayar dengan uang yang kau kumpulkan seumur hidupmu! :)” Uang milyaran, trilyunan pun, tidak akan mampu membayar nilai-nilai yang saya katakan tadi. 🙂

Dosen Lalai, Sudah Dibayar Gak Mau Kasih Konsul

Banyak mahasiswa S1 hingga S3 dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang menanyakan atau meminta pencerahan tentang suatu topik penelitian tertentu. Utamanya mereka ingin konsultasi ke saya tentang penelitian akhir mereka. Dan yang lebih banyak lagi yang ingin konsultasi tentang metode pengolahan dan analisis data pada penelitian mereka. Hampir tiap minggu, selalu ada email seperti itu yang dikirim ke email saya di Google Mail.

Lalu dalam beberapa waktu, saya tanya kepada beberapa pengirim email tersebut. “Kenapa Anda tidak tanya saja ke dosen Anda, yang punya kewajiban untuk mengajar dan menjawab konsultasi Anda? Lha iya, dosen itu kan dibayar untuk ngajar sampeyan. Trus kemana aja kerja para dosennya selama ini, hingga sampeyan nyasar ingin konsul ke saya?” 🙂

Ini banyak yang seperti itu. Ada yang menjawab, “Itulah pak. Dosennya sulit dihubungi.” Adalagi yang menjawab, “Dosennya sibuk di medsos, gak pernah jawab pertanyaan saya.” Ada lagi alasan-alasan lainnya.

Saya jawab enteng aja. “Lah kalo gitu dosen sampeyan itu licik donk. Kalau begitu caranya si dosen-dosen itu nyolong waktu saya, kalau sampeyan gak bayar biaya konsul ke saya. Konsul ke saya juga harusnya wajib bayar juga donk. Saya gak akan jawab kalau saya gak dibayar. Dosen yang sudah dibayar aja gak ngasih konsultasi ke sampeyan.”

Lah iya toh?

🙂

Universal and Existential Quantifier

I was so impressed and sometimes confused to articulate past, present, and future tense in English. This maybe one reason why I feel so bad in English. Another reason maybe because of “unlucky” of letter A and E for the notation of “Universal quantifier” and “Existential quantifier” in Mathematical logic :

Universal and Existential Quantifier

I was also impressed with the use of such symbols that lead naturally to the Russell’s paradox.

In Arabic grammar, which I learned from classic books of Islamic scholastic literatures, the present and future tenses are very complex and unified in one class of syntax but with many rules of instantiation more sharpened, namely fi’il mudhori, and the past tenses in Arabic grammar is same as in English and named fi’il madhi.

Audio pitch shifting with Fourier transform

John F. McGowan on Math-blog.com has an interesting article on audio pitch shifting by manipulating the Fourier transform of the voice and some additional mathematical acrobatics. This produced a recognizable pitch shifted voice and a relatively smooth pitch shifted voice similar to the output of the analog processing.

Traditional pitch shifting algorithms give artificial qualities to the pitch-shifted voice. The improved algorithms can create more natural sounding pitch-shifted voices. These voices can be used for humor, entertainment, or emphasis in movies, television, video games, video advertisements for small businesses, personal and home video, and in many other applications.

This video is President Obama’s original introduction from his April 2, 2011 speech on the energy crisis.

This video is President Obama speaking with his pitch doubled by shifting the Fourier components but without the mathematical acrobatics to compensate for un-centered frequency components:

This video is President Obama speaking with a chipmunked voice; his pitch has been doubled.

This video is President Obama speaking with a deep voice; his pitch has been reduced to seventy percent of normal.

This video is President Obama speaking with a voice similar to the voice of Mickey Mouse:

© 2011 John F. McGowan, Source : math-blog.com

Deep Questions of Life

Often we have question about something (question) where the answer is already contained in it. It may be called analytic questions, that is the relation between them is the relation of identity. The question is just like the answer that is already contained in it. Or it’s like an ordered pair, the first member of the pair is the best possible question we could ask, and the second member of the pair is the answer to that question. But the intelligent robots in the following video have the wisdom and consideration about the type of question.

These intelligent robots ponder deep philosophical questions of life : “What is the best possible question, and what’s the best answer to it?” By Teja Krasek and Cliff Pickover, at Youtube.