Baru-baru ini saya membaca buku The New Publik Service yg ditulis oleh Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt (2003). Buku ini menarik dan tampaknya juga cukup populer di bidang Administrasi Publik, terlihat dari banyaknya kutipan dalam jurnal2 penelitian khususnya dalam topik kebijakan publik dan etika birokrasi dalam pelayanan publik. Saya akan membahas buku tersebut di sini sebagai bagian dari masyarakat, sebagai pemerhati di luar ekosistem bidang itu; bukan orang yang berada di birokrasi pemerintahan, yang juga tidak mempunyai kewajiban utama untuk memberikan analisis kebijakan publik. Ketertarikan saya pada bidang ini terutama dikaitkan dengan “konsep rasional”: bagaimana sebuah proses kebijakan publik itu menjadi rasional. Pertanyaan yang sederhana, jawaban konseptual adalah dikaitkan dengan sekelompok ide dan praktik di bidang Administrasi Publik, yang dalam buku ini disebut dengan istilah “Administrasi Publik Lama” dan “Manajemen Publik Baru”.
Dalam pengembangan gagasan utamanya, buku ini mensintesiskan beberapa ide tentang demokrasi, kewarganegaraan, dan layanan publik sebagai fondasi normatif di bidang Administrasi Publik, dan membedakan dirinya dengan dua model administrasi publik pendahulunya, yang diistilahkan dengan : (1) “Administrasi Publik Lama” yang memisahkan politik dan administrasi (dikotomi politik-administrasi); dan (2) “Manajemen Publik Baru” yang berakar pada efisiensi dan rasionalisasi pasar.
Saya mencatat, perkembangan sejarah ide-ide khususnya dalam domain ilmu-ilmu sosial, konsep rasional selalu berkembang dinamis, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, secara tersirat selalu ada upaya melakukan rasionalisasi. Saya lebih senang menyebutkan proses ini sebagai fase-fase rasionalisasi: mana mungkin sebuah ide dan konsep sosial itu dikembangkan tanpa ada rasionalisasi. Fakta baru yang muncul selalu menarik untuk dirasionalisasi, dan karena upaya ini gagasan dan konsep baru bisa dibuat dan dikembangkan : dari tesis dan antitesis ke sintesis.
Tulisan ini merupakan suatu ulasan ringkas mengenai gagasan pokok buku tersebut, sambil melihat relevansinya dalam konteks proses kebijakan publik di negara-negara berkembang khususnya Indonesia, dengan beberapa studi kasus.
Administrasi Publik Lama Vs. Manajemen Publik Baru
Akar dari konsep Administarsi Publik Lama bersumber dari esai Woodrow Wilson yang waktu itu adalah profesor perguruan tinggi, yang belakangan menjadi presiden AS. Tema utama esai Wilson (1887) dalam bidang Administrasi Publik ialah mengusulkan adanya dikotomi antara politik (atau kebijakan) dan administrasi; administrasi terletak di luar lingkungan politik. Pertanyaan-pertanyaan administratif bukan merupakan pertanyaan-pertanyaan politis. Meskipun politik menetapkan tugas-tugas untuk administrasi, jabatan-jabatannya tidak boleh dimanipulasi. Dengan demikian Wilson menetapkan dikotomi politik-administrasi (atau kebijakan-administrasi) dalam bidang Administrasi Publik.
Dalam pengembangannya, model Administrasi Publik Lama mengalami rasionalisasi. Model “rasional klasik” dari Herbert Simon dan “teori pilihan publik” dari Ostrom juga ikut mendukung model Administrasi Publik Lama yang diusulkan Wilson. Dalam buku Administrative Behavior (1957), Herbert Simon merumuskan suatu standar tunggal, yaitu standar efisiensi. Dalam pandangan ini rasionalitas disamakan dengan efisiensi administratif. Menurut Simon, “manusia administratif,” perilaku administratif yang paling rasional, ialah perilaku yang menggerakkan suatu organisasi secara efisien menuju tujuan-tujuannya. Secara tidak langsung Simon menyatakan bahwa otoritas administratif adalah hal yang paling penting dan utama dalam proses kebijakan publik yang diukur melalui efisiensi administratif.
“Teori pilihan publik,” meskipun teori ini dikembangkan pada periode yang secara umum dikaitkan dengan Administrasi Publik Lama, namun teori ini juga dianggap sebagai jembatan yang menghubungan Administrasi Publik Lama ke Manajemen Publik Baru, serta jauh lebih signifikan di kemudian hari sebagai basis teoretis utama bagi Manajemen Publik Baru.
Teori pilihan publik didasarkan pada beberapa asumsi pokok. Pertama, teori ini berfokus pada individu, berasumsi bahwa pembuat keputusan individual adalah rasional, mementingkan diri sendiri, berusaha memaksimalkan “kegunaan-kegunaan”-nya sendiri. Kedua, teori pilihan publik berfokus pada ide bahwa “kebaikan publik” adalah hasil dari lembaga-lembaga publik. Ketiga, jenis aturan-aturan keputusan yang berbeda atau situasi-situasi keputusan berbeda yang akan menghasilkan pendekatan-pendekatan yang berbeda kepada pembuatan keputusan. Karena itu, menyusun aturan-aturan yang mempengaruhi pilihan manusia, dan pada gilirannya perilaku manusia, adalah suatu kunci bagi cara kerja lembaga-lembaga publik dan sistem pemerintahan secara umum. Menurut pandangan ini, “lembaga publik dipandang sebagai alat untuk mengalokasikan kemampuan-kemampuan pembuatan keputusan agar dapat memberikan kebaikan publik dan layanan yang tanggap kepada preferensi-preferensi individual dalam konteks-konteks sosial yang berbeda” (Ostrom dan Ostrom, 1971:207).
Konsep rasional dan efisiensi klasik dalam Administrasi Publik Lama berangsur-angsur berubah oleh fakta baru di negara-negara maju, yaitu : Pasar atau mekanisme pasar. Rasionalisasi administratif berubah menjadi rasionalisasi pasar. Otoritas utama bukan lagi pada urusan administratif melainkan manajerial yang dikontrol oleh pasar. Kondisi ini menandai awal pengembangan gagasan model “Manajemen Publik Baru.”
Ide-ide akar dalam Manejemen Publik Baru mulanya terkristalisasi dan dipopulerkan di AS oleh buku laris David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing Government (1992). Manajemen Publik Baru mengacu kepada sekumpulan ide dan praktik kontemporer yang pada intinya berusaha menggunakan pendekatan-pendekatan sektor swasta, mekanisme dan rasionalisasi pasar, dan bisnis dalam sektor publik. Selama dua dasawarsa silam, Manajemen Publik Baru secara harfiah memasuki bangsa dan dunia. Hasilnya sejumlah perubahan yang sangat postif telah terlaksana dalam sektor publik. Tema umum dalam segudang penerapan ide-ide ini adalah penggunaan mekanisme dan terminologi pasar, yang memandang hubungan-hubungan antara agen-agen publik dan para pelanggannya melibatkan transaksi yang mirip dengan transaksi yang terjadi di pasar. Pembaruan-pembaruan ini berusaha menggantikan proses-proses berbasis aturan yang digerakkan otoritas administratif dengan taktik-taktik berbasis pasar yang digerakkan persaingan.
Ada penekanan-penekanan yang berbeda, ada asumsi-asumsi yang berbeda antara kedua model Administrasi Publik Lama dan Manajemen Publik Baru. Namun keduanya sama-sama mengukur efisiensi dan rasionalisasi dalam proses kebijakan publik.
Buku The New Public Services yang ditulis Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt ini, meskipun pertama keluar tahun 2003, melampaui pembahasan “konsep rasional” di bidang Administrasi Publik sebelumnya. Buku ini mensintesiskan beberapa ide tentang demokrasi, kewarganegaraan, dan layanan publik sebagai fondasi normatif di bidang Administrasi Publik. Namun sebelum saya membahas gagasan utama dalam buku tersebut, terlebih dahulu saya akan membahas isu proses kebijakan publik dalam konteks negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia.
Sejauh yang saya ketahui dewasa ini banyak analis kebijakan publik di negara-negara berkembang yang menyatakan tesis bahwa keberhasilan dan kegagalan pembangunan di negara-negara tersebut lebih disebabkan karena “faktor pemimpin” dalam membuat kebijakan publiknya yang unggul, bukan hanya semata karena keterkaitannya dengan kehidupan berdemokrasi (lihat misalnya Nugroho, 2014: 41). Lain halnya di negara-negara maju, seperti AS, demokrasi, kewarganegaraan dan layanan publik kini mendapatkan perhatian serius dalam isu-isu mengenai model administrasi publik dan proses kebijakan publik mutakhir. Salah satu contohnya adalah konsep “Layanan Publik Baru” yang dibahas dalam buku ini.
Kebijakan Publik di Negara-Negara Berkembang
Huntington meyatakan bahwa saat ini di awal abad ke-21 sebagian “negara berkembang di tahun 1970-an” telah menjadi negara-negara maju baru. Korea Selatan, Taiwan dan Singapura adalah negara-negara yang berhasil lulus dengan baik (Huntington, 2000). Bagaimana dengan Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya, yang selama lebih dari setengah abad terakhir menunjukkan data kinerja yang berbeda-beda? Model apa yang harus digunakan dalam mengembangkan Kebijakan Publik di negara-negara berkembang?
Nugroho (2014), dalam bukunya Kebijakan Publik di Negara-Negara Berkembang menyoroti “faktor pemimpin” atas dasar beberapa fakta :
- Di Timur Tengah, model demokrasi Barat yang diterapkan di Irak dan Afghanistan telah menyebabkan negara-negara tersebut menjadi “bangsa yang gagal” (Chomsky, 2005)
- Pada tahun 1997, pemerintah Indonesia mengikuti saran Bank Dunia untuk mealukan privatisasi perusahaan air minum Jakarta, tetapi kebijakan yang disarankan oleh institusi global tersebut gagal setelah 12 tahun melaksankan Public Private Partnership (PPP)
- Kebijakan pendidikan gratis di Jembrana Bali adalah salah satu contoh inovasi kebijakan yang berhasil diimplementasikan, meskipun tidak mengikuti proses kebijakan publik formal yang berlaku di negara-negara maju, tetapi dengan adanya kepemimpian yang mempunyai visi dan komitmen yang berpihak kepada kepentingan publik lokal, kebijakan ini berhasil mengantarkan daerah miskin di Bali tersebut menjadi salah satu kabupaten terbaik di Indonesia.
- China, sebagai negara komunis, dengan model kebijakannya yang kurang demokratis kini telah menjadi ekonomi dunia terbesar di dunia dan di masa yang akan datang, dengan devisa asingnya tahun 2011 mencapai sekitar US$ 2,85 triliun (pada saat yang sama AS sebagai negara demokrasi terbesar memasuki zona defisit).
- Pakistan, Sri Lanka dan Bangladesh meskipun dapat dianggap sebagai negara paling demokratis di Asia, tetapi kinerja ekonominya sangat perlu untuk diperbaiki. Sebaliknya Cina, Singapura dan Malaysia mampu menjadi negara-negara yang unggul meskipun dengan implementasi demokrasi yang kurang dan terabaikan.
Tabel kinerja negara-negara berkembang dunia menunjukkan bahwa ada beberapa negara berkembang yang menunjukkan perkembangan yang baik dan ada yang kurang baik. Sebagian negara bersifat demokratis dan sebagian lainnya kurang demokratis atau dalam “demokrasi yang terabaikan”. Tapi mereka mungkin mempunyai keberhasilan yang sama dalam mengelola bangsa dan kinerjanya. Sebagian diantaranya adalah negara yang kaya akan sumber daya alam, dan sebagian lainnya adalah negara yang sumber daya alamnya sangat sedikit, namun mungkin berhasil menjadi negara terkemuka di Asia Pasifik.
Tabel 1. PDB per kapita untuk sebagian negara berkembang
pada tahun-tahun tertentu
Sumber : Nation-Master, IMF. Dikutip oleh Nugroho (2014: 28)
India dan Indonesia yang mengimplementasikan demokrasi sekarang menjadi penting dalam wacana dunia. Apresiasi global terhadap keberadaannya dan partisifasi aktif dalam forum dunia meningkat. Sehingga kebijakan publik tidak lagi tentang mengimplementasikan demokrasi atau kurang demokratis, tetapi tentang bagaimana pemerintah memberikan panduan bagi masyarakatnya untuk bersiap bagi masa depan, karena kebijakan publik adalah keputusan sistem politik saat
ini untuk menentukan masa depan.
Premis saat ini menyatakan bahwa : tidak pernah ada negara miskin, selalu ada negara dengan kebijakan yang buruk. Keberhasilan dan kegagalan negara-negara berkembang akan semakin tergantung pada bagaimana keberhasilan negara-negara tersebut dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan publik yang unggul. Demokrasi juga penting, tapi bukan hanya satu- satunya kunci keberhasilan dalam membuat bangsa yang unggul, atau bangsa yang besar.
Dalam bukunya, Riant Nugroho (2014) juga mengusulkan konsep “kebijakan unggul” yang didasarkan kepada karakteristik dan fenomena perkembangan kebijakan publik di negara-negara berkembang agar menjadi “negara maju yang berbeda dengan negara maju saat ini,” yaitu tiga nilai kunci kebijakan publik : kecerdasan, kearifan dan harapan.
Lebih jauh, Nugroho (2014) juga menjawab pertanyaan dasar, kenapa beberapa negara berkembang selama lebih dari 50 tahun terakhir memiliki perkembangan kinerja pembangunan yang lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Jawaban yang diusulkan, bukan hanya terkait persoalan ideologis seperti demokrasi saja, tetapi juga terletak pada elemen kritis yaitu “faktor pemimpin” sebagai penentu proses kebijakan publik yang unggul, dan pemerintahan yang baik.
Namun ada beberapa kritik terhadap tesis Nugroho (2014) ini, tantangan berikutnya adalah bahwa pemimpin di berbagai level birokrasi harus memperhatikan “faktor relevan”, yakni meletakkan kebijakan yang benar di saat yang tepat dengan memperhatikan konteks tuntutan kebutuhan publik, sehingga tidak terjebak pada “involusi kebijakan” yang seringkali muncul dari ortodoksi pemerintahan yang mengabaikan demokratisasi. Pemahaman pemerintahan yang paling relevan saat ini adalah tentang hubungan antara pemerintah dan warga negara dalam intitusionalisasi demokrasi yang memungkinkan proses kebijakan publik berjalan sesuai koridor tuntutan kebutuhan publik juga sesuai dengan administrasi publik dan manajerial birokrasi yang efektif. Pemerintahan yang unggul, tidak hanya terletak pada urusan manajerial birokrasi tetapi juga seberapa baik pemerintah itu dalam merespons kebutuhan publik, yaitu ketika pemerintah berhasil dalam merumuskan, mengimplementasikan, mengevaluasi, dan mengembangkan kebijakan publik serta dapat mencapai tujuannya.
Akhirnya, meskipun tesis utama Nugroho (2014) menyangkut kebijakan publik yang unggul dan “faktor pemimpin” mampu menjawab beberapa pertanyaan dasar di negara-negara berkembang, dalam praktiknya proses kebijakan publik harus membatasi diri dari “involusi kebijakan” dengan cara mengembangkan proses kebijakan publik yang lebih responsif terhadap tuntutan publik, dan birokrasi yang memelihara nilai-nilai pelayanan publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis. Sehingga antara kebijkan publik yang unggul dan demokratisasi harus berjalan beriringan.
Proses Kebijakan Publik di Indonesia : Beberapa Studi Kasus
Dalam banyak diskusi di Indonesia, arah pembicaraan tentang proses kebijakan sering mengacu kepada masalah implementasi kebijakan. Berbagai masalah implementasi dikemukakan seperti masalah kepemimpinan yang lemah, kabinet yang terdiri atas berbagai tokoh politik, birokrasi yang lemah dan berbelit-belit. Pendapat semacam ini sebenarnya menganggap bahwa desain kebijakan sudah baik, soalnya adalah implementasi. Hal ini tidak sepenuhnya benar karena implementasi yang kurang baik seringkali juga berasal dari desain kebijakan yang kurang baik, tidak lengkap atau tidak relevan. Pada gilirannya, kelemahan dari desain kebijakan juga sangat dipengaruhi oleh proses perumusan kebijakan tersebut (Bappenas, 2008:23).
Sementara itu diakui bahwa proses kebijakan sebetulnya merupakan proses penciptaan nilai dalam perumusan kebijakan, implementasi, kinerja, dan lingkungannya. Perumusan kebijakan memiliki dinamika internal yang akan menghasilkan nilai-nilai yang berperan dalam implementasi kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan tergantung pada saling mempengaruhi antara pelaksana implementasi, sistem, infrastruktur, dan para klien. Kinerja implementasi berperan pada nilai seluruh kinerja kebijakan yang terutama menciptakan nilai untuk kepentingan publik (Nugroho, 2014: 120).
Kebijakan selalu mencakup struktur yang mendua. Di satu sisi kebijakan mempunyai dimensi instrumental dalam menghasilkan keputusan, program dan hasil lainnya dengan nilai-nilai yang diyakini oleh aktor kebijakan, adanya seperangkat hubungan dalam kebijakan yang merupakan jalur komunikasi norma-norma etika dan moral, proses membangun jalinan kepercayaan (trust) dan solidaritas antar aktor. Di sisi lain, kebijakan dapat menghasilkan “nilai-nilai” yang anti-nilai seperti dominasi dan proses non-developmental (Barber, 1984; Putnam, 1971; dalam Considine, 1994; Triastuti, 2003: 125-126).
Terdapat sisi yang tidak terlihat dari kebijakan publik di samping sisi politiknya, yaitu sisi manajerial. Ide tersebut berusaha untuk menunjukkan bahwa kebijakan publik bukanlah ketergesa-gesaan politik, tetapi merupakan sisi lunak dari proses politik. Kebijakan publik merupakan mata uang dengan dua sisi: politik dan manajemen. Bahayanya adalah ketika kita hanya fokus pada satu sisi dan mengabaikan sisi yang lainnya. Politik yang mengabaikan manajemen akan mengubah kebijakan publik menjadi rangkaian kebijakan yang berubah atau biasa disebut “berubah ke suatu perubahan”. Ketika elit politik berubah, demikian juga kebijakan publik. Keberlangsungan kebijakan tidak berarti meneruskan status politik, malahan meneruskan pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, manajemen kebijakan publik yang dilakukan tanpa kemiripan politik membuatnya terdengar naïf, seperti jika melakukan perjalanan tanpa mengetahui arah dan misi yang pasti untuk diselesaikan (Nugroho, 2014: 128).
1. Studi Kasus Proses Kebijakan Sosial di Indonesia (Bappenas, 2008: 206-242)
Isu penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan isu yang menarik bagi arena politik. Isu ini mudah menarik perhatian publik, khususnya di Indonesia, karenanya sering menjadi materi janji-janji kampanye. Pada saat isu ini beralih ke proses kebijakan publik, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana manajemen administrasinya, dan apakah pemerintahan terpilih mampu memenuhi harapan inti masyarakat atau hanya sebuah kebijakan dengan “ketergesa-gesaan politik”? Apakah proses kebijakan sosial penanggulangan kemiskinan mampu merepresetasikan nilai-nilai yang dikehendaki oleh publik?
Secara konseptual proses kebijakan sosial di Indonesia lebih banyak terfokus pada upaya penangggulanan kemiskinan semata, padahal permasalahan sosial di Indonesia tidak hanya mencakup dimensi penanggulangan kemiskinan saja, banyak dimensi dan hak dasar penduduk yang tidak terpenuhi oleh negara (dikesmpingkan). Ini misalnya terlihat pada bidang lingkungan hidup dan pangan masyarakat (agraria). Meskipun telah ada upaya untuk membuat kerangka kebijakan penanggulan kemiskinan yang komprehensif, tetapi strategi kebijakan tersebut belum robust, karena selalu berubah dari waktu ke waktu.
Secara operasional atau manajerial, implementasi kebijakan sosial tidak disokong oleh kerangka koordinasi antar lembaga. Salah satu indikasinya adalah: dari berbagai lead agency yang ada, mereka hanya berfungsi sebagai kordinator yang minim dalam hal kewenangan, pendanaan hingga sumber daya manusia. Pembentukan Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) dan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) dapat dilihat sebagai taktik pemerintah agar dinilai keseriusannya oleh masyarakat. Di sisi lain, itu menunjukkan adanya ketidakmampuan pemerintah secara kelembagaan dalam mendorong efektifitas upaya mengurangi kemiskinan. Penambahan suatu intitusi baru di luar struktur pemerintahan akan menjadi hal yang mubadzir selama institusi tersebut tidak mampu mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan proses kebijakan anti kemiskinan yang ada.
Melihat adanya berbagai kasus-kasus kebijakan lintas sektoral (mulai dari perumusan hingga pengawasan), studi yang seharusnya diarahkan pada mengapa kebijakan sosial penting justru belum dirumuskan, misalkan kebijakan mengenai reformasi agraria hingga saat ini belum didukung dengan keputusan legal dari pemerintah, tidak adanya dokumen penduan pelaksanaan resmi dan juga tidak ada kemauan politis untuk memulainya. Hal ini mengakibatkan kekecewaan kepada pemerintah kerena program ini seakan-akan hanya sekedar wacana.
Kebijakan sosial penanggulangan kemiskinan memberikan pelajaran bahwa proses kebijakan bukanlah semata “ketergesa-gesaan politik”, dan meskipun hal tersebut adalah isu politik yang menarik, pemerintah seharusnya lebih cermat dalam membuat proses kebijakan yang mendukung nilai-nilai kebaikan (“penanggulan kemiskinan”) yang lebih komprehensif, baik secara konseptual/filosofis maupun secara operasional/manajerial, sehingga ouput kebijakannya dapat menyentuh substansi masalahnya, dengan demikian kepercayan masayarakat kepada kebijakan pemerintah akan meningkat.
2. Studi Kasus Proses Kebijakan Privatisasi Perusahaan Air Minum Jakarta (Nugroho, 2014: 367-395)
Pada tahun 1997, pemerintah Indonesia mengikuti saran Bank Dunia untuk melakukan privatisasi perusahaan air minum di Jakarta, tetapi kebijakan yang disarankan oleh institusi global tersebut gagal setelah 12 tahun beroperasi melaksanakan PPP (Public Private Partnership). Kesalahan bukan terletak pada swasta atau model skema PPP, tetapai proses kebijakan tidak mengindahkan nilai-nilai etika publik. Pendekatan kontrak privatisasi yang memindahkan akuntabilitas strategis pemerintah ke pihak lain di luar pemerintah (swasta) dinilai tidak mengindahkan nilai-nilai partisipasi publik dan mengabaikan norma-norma lokal yang dikehendaki oleh publik. Nilai-nilai pada proses kebijakan PPP perusahan air minum Jakarta sebaiknya didukung oleh cita-cita etis: kepentingan masyarakat yang paling utama dan tidak sekadar keuntungan bagi pelaku bisnis semata. Nilai dasar pemerintahan yang baik adalah: akuntabilitas, responsivitas, kemandirian, kejujuran, dan partisipasi publik. Sedangkan usaha swasta dimiliki dan dikelola oleh swasta, oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi mereka untuk mengakomodasi partisipasi publik dan menyampaikan transparansi seperti yang dikehendaki oleh masyarakat lokal Jakarta. “Kegagalan” kinerja proses kebijakan perusahaan air minum Jakarta bukan hanya merupakan kegagalan swasta dan PPP, tetapi tentang “kegagalan kontrak” karena keyakinan akan nilai-nilai kebaikan tidak ditempatkan sebagai inti proses kebijakan.
3. Studi Kasus Proses Kebijakan Pendidikan Gratis di Jembrana Bali (Nugroho, 2014: 339-365)
Penelitian tentang inovasi kebijakan pendidikan gratis di Jembrana Bali dilakukan pada 2006-2007 dan diketahui bagaimana kabupaten yang miskin di Bali menjadi kabupaten terbaik di Indonesia dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan. Di Indonesia selama 1990-an, visi perkembangan regional lebih ditekankan kepada ekonomi, kearifan konvensional saat itu adalah: perkembangan ekonomi menghasilkan uang (anggaran daerah) yang kemudian dapat digunakan untuk perkembangan pendidikan. Bupati Jembrana, Winasa, mengubah kearifan tersebut menjadi: pendidikan dahulu, ekonomi akan meningkat. Sejak 2001 Jembrana telah mengimplementasikan kebijakan pendidikan gratis di sekolah negeri dan merupakan kebijakan pendidikan gratis pertama yang diimplementasikan di Indonesia dengan sukses.
Kasus Jembrana adalah proses kebijakan yang unik. Di Indonesia, semua kebijakan yang terkait dengan alokasi dan realokasi anggaran harus melalui proses pembuatan kebijakan yang dilakukan dengan persetujuan parlemen daerah. Mereka kemudian akan mengeluarkan “Peraturan Daerah” sebagai keputusan legislatif dan bukan keputusan yudikatif. Langkah-langkah kebijakan apa pun yang tidak sama dengan proses ini akan menyebabkan impeachment. Akan tetapi, Winasa tidak menghadapi penolakan maupun impeachment. Alasannya adalah bahwa kebijakannya sejalan dengan kepentingan masyarakat dan dia melakukannya dengan cara pemerintahan yang bagus, transparan dan akuntabel, karena tidak ada kasus anggaran yang disalahgunakan yang pernah ditemukan dalam pemerintahannya.
Winasa berhasil memaksa dewan perwakilan daerah untuk menerima reformasi pendidikannya. Dia melakukan “inovasi kebijakan” dengan dua istilah. Pertama, inovasi menentang kearifan konvensional: “ekonomi dahulu, pendidikan menyusul”, sedangkan dia memilih untuk menerapkan yang sebaliknya: “pendidikan dahulu, ekonomi menyusul.”
Kedua, kasus Jembrana adalah contoh kebijakan inovatif karena tidak mengikuti kerangka teori kebijakan publik. Inovasi kebijakan dimulai oleh visi pemimpin tentang pendidikan kemudian dia menciptakan kebijakan, selanjutnya mengimplementasikannya. Inovasi kebijakan kemudian menjadi agenda kebijakan yang selanjutnya dirumuskan sebagai kebijakan nyata, kemudian secara formal diimplementasikan dan dilaksanakan.
Penutup
Melihat beberapa contoh kasus di atas, maka bisa dilihat pola atau rumus dalam proses kebijakan publik, tidak jauh berbeda dengan ide-ide sebelumnya tentang rasionalisasi dalam model “Administrasi Publik Lama” dan “Manajemen Publik Baru”, hanya saja ada fakta-fakta baru yang ditambahkan.
Buku The New Public Service, dari Denhardt dan Denhardt (2003), tidak dimaksudkan untuk menentang kedua model pendahulunya. Sebagaimana diakui oleh mereka, tidak dapat disangkal bahwa kedua model tersebut telah menghasilkan capaian positif yang mengesankan pada masanya. “Layanan Publik Baru” mensintesiskan beberapa ide tentang demokrasi, kewarganegaraan, dan layanan publik sebagai fondasi normatif di bidang Administrasi Publik. Ide ini menegaskan bahwa tidak ada lagi dikotomi politik-administrasi seperti dalam konsep “Administrasi Publik Lama,” maupun yang memalingkan fokus bidang Administrasi Publik hanya kepada proses manajerial dengan mekanisme dan terminologi pasar seperti dalam konsep “Manajemen Publik Baru.” Dalam Layanan Publik Baru, terminologi yang digunakan bukan lagi otoritas administratif atau terminologi pasar, melainkan demokrasi, kewarganegaraan, dan layanan publik, maka akar-akar yang melekat pada konsep ini juga berlaku seperti :
- Teori kewarganegaraan demokratis
- Model komunitas dan masyarakat sipil
- Humanisme organisasional dan administrasi publik baru
- Administrasi publik postmodern
Karenanya, proses kebijakan publik tidaklah bersifat hampa nilai ataupun bersifat economic value saja atau management value saja; melainkan sarat akan nilai-nilai demokrasi dan kewarganegaraan kontekstual, yaitu nilai-nilai yang merupakan preferensi dan representasi politis dari nilai-nilai yang dikehendaki oleh publik. Kepemimpinan yang memiliki visi dan komitmen yang kuat untuk melayani publik merupakan faktor penting dan sangat menentukan dalam menggerakan proses kebijakan yang dapat menciptakan nilai-nilai etika birokrasi yang responsif dan peka terhadap tuntutan dan aspirasi publik.
Dari buku ini dapat saya tangkap perkembangan mutakhir pendekatan model Administrasi Publik di negara-negara maju, khususnya AS, yang telah bergeser dari dikotomi politik-administrasi (model Administrasi Publik Lama) ke orientasi pasar (model Manajemen Publik Baru). Layanan Publik Baru adalah sekumpulan fakta baru dan rasionalisasi publik baru, yang berfokus untuk mengatur hubungan antara negara dan warga negara yang demokratis, yang selama ini mungkin “terabaikan” dalam perspektif ekonomi di negara-negara maju akibat telah terkristalnya konsep “manajerialisme” dan “rasionalisasi pasar” dalam mekanisme pasar bebas.
Di Indonesia, tentu saja, sebagai negara berkembang yang sedang mengupayakan pertumbuhan ekonomi baik di sektor publik maupun swasta, serta sekaligus sedang menjaga dan memelihara kehidupan demokrasinya, Layanan Publik Baru ini dapat dijadikan sebagai wacana baru terutama bagi para analis kebijakan publik.
Referensi dan Bacaan
- Bappenas, 2008, Assesment Cepat Proses Pegelolaan dan Lembaga Kebijakan di Indonesia, Proyek Pakarsa Strategis Bappenas, Jakarta
- Denhardt, J.V., dan Denhardt, R.B., 2003, The New Public Service, M.E. Sharpe, New York
- Hamka, dkk., 2011, Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan di Kawasan Timur Indonesa, Laporan penelitian versi elektronik, tersedia : http://www.stialan.ac.id/artikel/artikel%20hamka.pdf (diakses 2 Mei 2015)
- Nugroho, R., 2014, Kebijakan Publik di Negara-Negara Berkembang, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
- Santosa, D.P., 2010, Proses Kebijakan : Merupakan Proses Politik dan Teknik Pelaksanaanya, Makalah versi elektronik, tersedia : http://digilib.unpas.ac.id/files/disk1/58/jbptunpaspp-gdl-deddypandj-2890-1-8.prose-.pdf (diakses 2 Mei 2015)
- Triastuti, M.R.H., 2003, Rekonsilisiasi Nilai Demokrasi dan Birokrasi dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik, Jurnal Administrasi Publik, No. 2 Vol. 2003: 125-139
- Zakaria, Y., dan Setyoko, I., 2012, Pelibatan Masyarakat sebagai Etika dalam Formulasi Kebijakan Publik Guna Mencegah Praktik Korupsi, Makalah pada Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN), versi elektronik tersedia : http://map.unsoed.ac.id/wp-content/uploads/2011/12/Paper-Yahya-Zakaria-Paulus-Israwan-Unsoed-for-ASIAN-2012.pdf (diakses 2 Mei 2015)